BIODATA
SOEKARNO
Ir. Soekarno(17 Agustus 1945 -12 Maret 1967)
Nama: Ir. Soekarno
Nama Panggilan: Bung Karno
Nama Kecil: Kusno.
Lahir: Blitar, Jatim, 6 Juni 1901
Meninggal: Jakarta, 21 Juni 1970
Makam: Blitar, Jawa Timur
Gelar (Pahlawan): Proklamator
Jabatan: Presiden RI Pertama (1945-1966)
Isteri dan Anak: Tiga isteri delapan anak
Isteri Fatmawati, anak: Guntur, Megawati, Rachmawati,
Sukmawati dan Guruh
Isteri Hartini, anak: Taufan dan Bayu
Isteri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama
asli Naoko Nemoto, anak: Kartika.Ayah: Raden Soekemi Sosrodihardjo
Ibu: Ida Ayu Nyoman Rai
Pendidikan:
HIS di Surabaya (indekos di rumah **** Oemar Said
Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam)
HBS (Hoogere Burger School) lulus tahun 1920
THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi
yang sekarang menjadi ITB) di Bandung lulus 25 Mei 1926Ajaran: Marhaenisme
Kegiatan Politik: Mendirikan PNI (Partai Nasional
Indonesia) pada 4 Juli 1927
Dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929
Bergabung memimpin Partindo (1931)
Dibuang ke Ende, Flores tahun 1933 dan Empat tahun
kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Merumuskan Pancasila 1 Juni 1945
Bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada
17 Agustus 1945—–
SEKILAS TENTANG
BUNG KARNO
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa
dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di
Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya
Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai
delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati,
Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan
dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto
mempunyai anak Kartika..
Masa kecil Soekarno
hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga
tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said
Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan
sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah
menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke
Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi
yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar "Ir" pada 25 Mei
1926.Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai
Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka.
Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29
Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya
berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa
yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada
Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno
bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali
ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian
dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno
dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam
sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang
dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno
dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang
PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden
Republik Indonesia yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang
kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau
berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun
bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika
di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat
yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR
mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang
pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di
Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya,
Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai "Pahlawan
Proklamasi".
LAWATAN KE KUBA
Soekarno punya banyak sahabat di luar negeri. Salah satu
yang paling dekat mungkin dengan para pemimpin revolusioner Kuba, Fidel Castro
dan Che Guevara.
Che Guevara lebih dulu berkunjung ke Indonesia tahun
1959. El Comandante ini berdiskusi panjang lebar soal revolusi di Indonesia.
Pada waktu itu, Che juga merupakan wakil resmi pemerintah Kuba untuk
membicarakan hubungan dagang antar kedua negara. Soekarno cocok dengan pribadi
Che. Keduanya penuh energi dan bergaya informal.
Che sempat berwisata ke Candi Borobudur. Dia yang
terkesan dengan Soekarno kemudian mengundang Soekarno untuk ganti berkunjung ke
Kuba.
Maka tahun 1960, Soekarno yang melawat ke Kuba. Pemimpin
Kuba Fidel Castro langsung menyambutnya di Bandara Havana. Soekarno disambut
meriah. Warga Kuba berdiri di sepanjang jalan membentangkan poster bertuliskan
'Viva President Soekarno'.
Soekarno banyak berdiskusi dengan Castro soal apa yang
telah dilakukannya di Indonesia. Di tengah kepulan cerutu kuba yang legendaris,
Soekarno memaparkan konsepnya soal Marhaenisme. Soekarno menjelaskan
kemandirian di bidang ekonomi. Bagaimana rakyat bisa menjadi tuan di negerinya
sendiri tanpa didikte imperialisme.Fidel Castro yang juga anti-Amerika klop
dengan Soekarno. Sejarah menunjukkan keduanya tidak pernah mau didikte Amerika
Serikat.
Foto-foto Soekarno, Che dan Castro menunjukkan hubungan
yang sangat dekat. Soekarno menghadiahi Castro keris, senjata asli Indonesia.
Mereka tertawa seperti dua sahabat saat bertukar penutup kepala. Soekarno
menukar kopiahnya dengan topi a la komandan militer yang menjadi ciri khas
Castro. Che pun tampak senang mengenakan kopiah Soekarno.
Saat itu revolusi baru saja terjadi di Kuba. Castro dan
Che baru menumbangkan rezim Batista dan mengambil alih kepemimpinan Kuba tahun
1959. Karena itu euforia revolusi terjadi di semua pelosok Kuba.
Yang unik, rombongan kepresidenan sempat berhenti hanya
karena petugas polisi yang memimpin konvoi ingin menghisap cerutu.
Cerita itu dituturkan ajudan Soekarno, Bambang Widjanarko
dalam buku 'Sewindu Dekat Bung Karno' terbitan Kepustakaan Populer Gramedia.
Saat itu dalam konvoi Soekarno ada tiga polisi yang
memimpin iring-iringan kepresidenan sekaligus membuka jalan. Tiba-tiba polisi
pemimpin konvoi menghentikan motornya dan menyuruh konvoi berhenti. Tentu saja
semua peserta bertanya-tanya kenapa konvoi berhenti.
Polisi itu lalu mengeluarkan cerutu, dan menghampiri
sopir Soekarno. Rupanya dia mau pinjam korek untuk menyalakan cerutu. Setelah
menyala, polisi itu lalu memberi hormat pada Soekarno. Dia menaiki motornya dan
memimpin konvoi kembali dengan gagah. Sambil menghisap cerutu kuba tentu saja.
"Bung Karno tertawa berderai melihat itu. Rupanya
dia cukup paham Kuba masih dalam revolusi," ujar Bambang.
Lawatan ke Kuba sangat mengesankan untuk Soekarno. Sangat
berbeda dengan lawatannya ke Washington beberapa waktu sebelumnya. Kala itu
Soekarno tersinggung dengan Presiden Eisenhower yang sombong. Eisenhower
menganggap remeh Soekarno yang dianggapnya datang dari negara dunia ketiga.
Dibiarkannya Soekarno menunggu di Gedung Putih hampir
setengah jam lamanya. Amarah Soekarno pun meledak.
"Apakah kalian memang bermaksud menghina saya.
Sekarang juga saya pergi," ujar Soekarno dengan marah.
Para pejabat AS pun kebingungan. Mereka sibuk meminta
maaf dan meminta Soekarno tinggal. Eisenhower pun segera keluar menemui
Soekarno. Pada pertemuan berikutnya, Eisenhower menjadi lebih ramah. Dia sadar
Soekarno tak bisa diremehkan.
YANG TIDAK
PATUT DI TIRU
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, dikenal
beristri banyak. Punya istri banyak dan cemburuan tentu membuat Soekarno
pusing. Kadang Soekarno terpaksa main kucing-kucingan dengan para istrinya.
Ketika Soekarno menikah dengan Hartini, Fatmawati marah
dan keluar dari Istana. Istri kedua Soekarno ini memilih tinggal di Kebayoran
Baru. Hartini pun akhirnya tidak tinggal di Istana, tetapi di paviliun Istana
Bogor. Lalu setelah menikah dengan Dewi Soekarno, wanita Jepang ini ditempatkan
di Wisma Yasoo, Jl Gatot Subroto. Sementara istri lainnya, Haryati 'ditaruh' di
kawasan Slipi, Jakarta Barat.
Banyak kisah lucu soal poligami Soekarno. Misalnya soal
surat. Karena sibuk, Soekarno tidak sempat menulis surat untuk masing-masing
istrinya. Maka dia menyuruh juru tulis Istana untuk mengetikkan surat cinta
bagi istrinya.
Tapi betapa kagetnya Soekarno saat mendapati surat cinta
itu diketik di atas kertas berkop kepresidenan resmi. Lengkap dengan logo
burung garuda dan cap kepresidenan. Bukan itu saja, si pengirim bukan ditulis
sebagai 'mas' atau 'Soekarno' tetapi Paduka Yang Mulia Presiden Republik
Indonesia, Ir Soekarno.
Nah, akibat banyak istri ini para ajudan pun jadi punya
tugas tambahan. Ajudan Soekarno, Bambang Widjanarko menceritakan semua
kerepotan ini.
Para istri Soekarno ini selalu curiga ke mana Soekarno
pergi setelah jam dinas usai. Apakah menemui istrinya yang lain? ke rumah si A,
si B atau si C? Para ajudan Soekarno pun harus berbohong demi menyelamatkan bos
mereka.
"Kami para ajudannya harus membantu dan mengamankan
setiap timbul persoalan. Kalau perlu harus berbohong, apabila ibu yang satu
bertanya apakah Bung Karno bertemu dengan ibu yang lainnya," kata Bambang
Widjanarko dalam buku 'Sewindu Dekat Bung Karno' terbitan Kepustakaan Populer
Gramedia.
Jika Soekarno bertanya "Apakah aku sudah rapi?"
Maka 'rapi' itu artinya bersih dari bekas lipstik, dan wangi parfum salah satu
istrinya. Ajudan pun harus ektra teliti memeriksa. Jika ada bekas parfum
misalnya, maka Soekarno akan pulang dulu ke Istana Negara untuk mandi dan
berganti pakaian.
Pernah suatu saat, Haryati, mendengar Soekarno sedang
menemui istrinya yang lain. Dia pun marah dan hendak menyusul ke tempat acara.
Soekarno yang mendapat laporan, memerintahkan bagaimana dan apapun caranya,
Haryati tak boleh meninggalkan Slipi.
Maka 'operasi sabotase' itu digelar. Awalnya sopir
Haryati berpura-pura mobilnya mogok. Haryati yang murka meminta agar dikirim
mobil dari Istana. Tapi berjam-jam mobil itu tidak juga datang. Saat sopir
sudah berhasil menyalakan mobil yang tadi mogok, sebuah truk tiba-tiba mogok di
depan rumahnya. Mobil Haryati pun tidak bisa keluar dari garasi. Misi sabotase
ini sukses.
Repot memang punya banyak istri, apalagi yang sifatnya
pencemburu. Sebaiknya jangan ditiru ya...cukup satu dan selalu jaga hatinya
baik2...
( sumber beritanya dari merdeka.com )
SEKILAS ISTRI
ISTRI BUNG KARNO
1.SITI OETARI
(1921-1923)
Merupakan putri sulung Hadji Oemar Said Tjokroaminoto
tokoh Sarekat Islam sekaligus merupakan istri dari Presiden Indonesia pertama
Soekarno. Soekarno menikahi Oetari usianya berumur 16 tahun. Soekarno menikahi
Oetari pada tahun 1921 di Surabaya. Sewaktu itu Soekarno menumpang di rumah HOS
Tjokroaminoto ketika sedang menempuh pendidikan di sekolah lanjutan atas.
Beberapa saat sesudah menikah, Bung Karno meninggalkan Surabaya, pindah
melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di THS (sekarang ITB). Soekarno
kemudian menceraikan Oetari.
2.INGGIT
GARNASIH (1923-1943)
Sudah lama jalan Ciateul berganti nama menjadi jalan Ibu
Inggit Garnasih. Siapakah dia? Berikut satu artikel yang saya temukan.
Bung Karno dan H. Agus Salim, mereka berpolemik panjang
lebar soal poligami. Bung Karno tidak setuju karena dianggapnya poligami adalah
perendahan harkat dan martabat kaum perempuan sebaliknya Agus Salim setuju
karena pengertian beliau yang mendalam. Beberapa tahun kemudian mereka bertemu,
Bung Karno istrinya banyak sementara Agus Salim tetap beristri satu.
Akhirnya segala sesuatu dikembalikan pada niatnya, yang
luar biasa adalah istri Bung Karno, Ibu Inggit. Apabila Bung Karno api maka
Inggit kayu bakarnya. Inggit menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan,
Inggit menghibur ketika Soekarno kesepian. Inggit menjahitkan ketika kancing
baju Soekarno lepas, Inggit hadir ketika Soekarno muda membutuhkan kehangatan
perempuan baik sebagai Ibu maupun teman. Inggit bagi Soekarno laksana Khadijah
bagi Muhammad. Bedanya Muhammad setia hingga Khadijah meninggal sedangkan
Soekarno kawin lagi, melangkah ke gerbang istana dan Inggit pulang ke Bandung,
menenun sepi.
Dalam kamus hidupnya hanya ada kata memberi tak ada kata
meminta. Inggit menjual bedak, meramu jamu dan menjahit kutang untuk nafkah
keluarga, sementara Soekarno seperti singa yang mengaum dari satu podium ke
podium berikutnya, pikirannya tercurah untuk pergerakan, Inggit yang setia
mencari uang. Inggit mencinta karena cinta, tanpa pamrih tanpa motivasi. Suatu
malam di jalan Jaksa, kedua pasang mata bertemu, Soekarno berkata “Aku cinta
padamu”. Inggit tersipu menunduk dalam-dalam sambil mempermainkan ujung kebaya.
Itulah cinta yang dibawakan Inggit dengan mesra, tanpa suara tanpa kata-kata,
tanpa bahasa. Kejadian yang sangat lazim dan sederhana tetapi merupakan
kejadian penting yang terlupakan oleh segenap bangsa.
Inggit menemani Soekarno yang terlunta-lunta di
pembuangan. Jauh di Pulau Ende lalu di Bengkulu, Inggit tetap menemani,
merupakan batere bagi kehidupan Soekarno yang menderita. Tetapi di ujung masa
penjajahan Soekarno berkata pada Inggit, “Euis, aku akan menikah lagi supaya
punya anak seperti orang-orang lain.”
“Kalau begitu antarkan saja aku ke Bandung!” jawab Inggit.
“Tidak begitu, maksudku engkau akan tetap jadi istri
utama. Jadi first lady seandainya kita nanti merdeka.”
“Tidak, antarkan saja aku ke Bandung.” jawab Inggit lagi.
Akhirnya Soekarno mengantar Inggit ke Bandung. Kembali
tinggal di jalan Tjiateul dan Soekarno balik ke Jakarta. Dalam kesepiannya
Inggit selalu berdoa bagi kebaikan Soekarno. Inggit kembali menjual bedak,
meramu jamu dan menjahit kutang sebagai nafkah.
Dagangannya dititipkan di toko Delima. Inggit tidak
mengeluh. tidak menangis. Demikianlah cinta Inggit pada Soekarno. Cinta
semata-mata karena cinta. Tidak luka ketika dilukai dan tidak sakit ketika
disakiti, tanpa pamrih tanpa motivasi.
Siang itu aku lewat di Jl. Ciateul yang sibuk dan panas,
yang sekarang dinamakan Jl Inggit Garnasih. Tampak sebuah rumah lama dicat
baru, katanya disitu dulu Inggit tinggal dan akan dijadikan museum. Aku tengok
isinya … kosong melompong. Tak ada yang ditinggalkan oleh Inggit selain satu
pelajaran tentang CINTA
.3.FATMAWATI
(1943-1956)
Fatmawati (ada yang berkata nama aslina Fatimah. Red.)
lahir pada tanggal 5 Pebruari 1923, dari suami-isteri Hassan Din dan Siti
Chatidjah. Tidak memiliki rumah sendiri (dan selalu menyewa atau, menumpang),
Hassan Din bukan orang berada. Kemelaratan ini lebih-lebih lagi melanda ketika
Hassan Din harus keluar dari Borsumi dan aktif dalam gerakan Muhammadiyah di
Bengkulu.
Pernah, ketika masih duduk di kelas II HIS Muhammadiyah,
Fatmawati berjualan ketoprak seusai sekolah. "Inilah jalan yang aku tempuh
untuk meringankan beban orangtuaku," tulisnya. Usia 12 tahun, sudah bisa
dilepas di warung beras ayahnya.
Ketika usianya 15 tahun, Fatmawati bertemu dengan
Sukarno. Bahkan seluruh keluarga -- ayah, ibu, Fatma dan adik ayahnya -- naik
delman mengunjungi rumah Sukarno di Curup. "Masih kuingat, aku mengenakan
baju kurung warna merah hati dan tutup kepala voile kuning dibordir."
Pendapat Fatmawati tentang Inggit, yang waktu itu jadi isteri Bung Karno:
"Inggit mempunyai pembawaan halus, pandai tersenyum dan gemar makan sirih.
Berpakaian rapi, tak banyak reka-reka menurut model sebelum generasiku, memakai
gelur bono Priangan. Pada penglihatanku, Ibu Inggit seorang yang tidak spontan,
gerak-geriknya hati-hati. Bercakap pun demikian. Matanya kelihatan seakan-akan
suka marah dan kesal. Jika orang tak kuat batin, rasanya susah berdekatan
dengan beliau
Saat yang paling penting dalam kehidupannya, di saat-saat
menjelang proklamasi 17 Agustus 1945, demikian Fatmawati. Ibu Negara ini yang
menggunting dan menjahit bendera pusaka yang kini disimpan. Di masa-masa
pergolakan ada beberapa catatan penting tentang soal yang bisa saja dianggap
remeh-remeh. Misalnya: Kunjungan beliau yang pertama ke luar negeri adalah ke
India. Beliau ketika itu memakai perhiasan pinjaman dari isteri Sekretaris
Negara, seorang keturunan bangsawan kraton yang kebetulan punya persediaan.
Tentang Yogya - dan Fatma berdiam di gedung yang kini
namanya Gedung Negara -- ia menulis: "Satu kali kami menjamu Merle Cochran
dengan perabot dan pecah-belah pinjaman dari kiri-kanan dengan protokol
`perjuangan`nya." Artinya: protokol yang juga sibuk pinjam taplak meja di
rumah lain kalau kebetulan ada tamu negara. Juga protokol yang, tanpa bisa
dilihat oleh tamu negara, bersembunyi dan memberi tahukan kepada Bung Karno,
kapan dia harus angkat gelas. Istana waktu itu memang bukan Istana yang
sekarang.
Fatmawati meninggal pada tahun 1980 dan dimakamkan di
Karet Bivak, Jakarta. Ia adalah istri ke-3 dari Presiden Pertama Indonesia,
Soekarno. Ia juga dikenal akan jasanya dalam menjahit Bendera Pusaka Sang Saka
Merah Putih yang turut dikibarkan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945. Dari pernikahananya dengan Soekarno ia
dikaruniai 5 orang anak.
4.HARTINI
(1952-1970)
Hartini Soekarno, Lahir di Ponorogo Jawa imur pada
tanggal 20 September 1924 beragama Islam. Hartini menempuh pendidikan awal di
HIS ( Holland Indlands School ) dan terakhir Kelas dua SMA yaitu pada tahun
1942. Wanita Karir di bidang Wiraswasta ini beralamat di Jalan Proklamasi No.
62 di Jakarta Pusat.
Enam belas tahun dalam suka maupun duka, Hartini setia
mendampingi suaminya hingga wafat. Resmi menjadi istri Soekarno, setahun
setelah pertemuannya yang pertama di Prambanan, Yogyakarta tahun 1952. Ketika
itu ia sudah menjadi janda berusia 28 tahun. Dengan suaminya yang pertama,
Suwondo, ia dikaruniai lima anak. Menikah dengan Soekarno, ia mendapat dua
anak.
Biasa dipanggil Tien, ia anak kedua dari lima bersaudara.
Ayahnya, Osan, pegawai kehutanan, mendidiknya secara tradisional. Tidak
mengherankan bila Tien berpendidikan formal hanya hingga kelas dua SMA.
Pendapatnya tentang istri cukup sederhana. Selain sebagai istri, kita juga
adalah ibu, kawan, dan kekasih bagi suami.
Sebagai ibu, menurut Tien, bila suami sakit harus
dilayani dengan cermat. Meminumkan obat, memijati, dan mengelusnya hingga
terlena. Sebagai kawan, di mana dan kapan pun, patut mengimbangi
pembicaraannya. Ia banyak membaca dan rajin mengumpulkan informasi, agar mampu
menjadi kawan bicara yang baik dan bijak.
Awet muda dan tampak cantik dalam usia 60 tahun. Rahasia
kecantikan Hartini, setiap bangun pagi ia segera minum segelas air putih dan
olah raga ringan. Juga minum jamu ramuan sendiri berupa kunyit, daun asam,
temu, asem kawak, daun beluntas, dan gula merah, yang direbusnya. Ia minum jamu
dua kali sehari dan tidak makan yang amis, seperti ikan dan telur.
5. Kartini
Manoppo (1959-1968)
Kartini Manoppo, bekas pramugari syarikat penerbangan
Indonesia, Garuda. Sukarno jatuh cinta pada Kartini apabila melihat potret
wajah wanita itu yang dilukis oleh Basuki Abdullah. Mereka bernikah pada tahun
1959 dan memperoleh anak pada tahun 1967. Anak itu diberi nama Totok Suryawan
Manoppo.
6.Ratna Sari
Dewi (1962-1970)
Ratna Sari Dewi yang berdarah Jepang bernama asli Naoko
Nemoto, merupakan istri kelima dari mantan presiden Republik Indonesia yang
pertama yaitu Ir. Soekarno, wanita kelahiran Tokyo, 6 Februari 1940. Yang
dinikahi oleh Soekarno pada tahun 1962 itu terdaftar dengan nama lengkap Ratna
Sari Dewi Soekarno yang beralamat di Shibuya-Ku, Kamiyama-Cho, 31-1, Tokyo.
Bagaimana pula dengan Naoko Nemoto? Dialah geisha yang
begitu sempurna di mata Sukarno. Kecantikannya begitu mempesona, sehingga tak
kuasa Sukarno meredam hasrat cintanya yang berkobar-kobar. Gadis Jepang ini
lahir tahun 1940, sebagai anak perempuan ketiga seorang pekerja bangunan di
Tokyo. Ia lahir dari keluarga sederhana, sehingga Naoko harus bekerja sebagai
pramuniaga di perusahaan asuransi jiwa Chiyoda, sampai ia lulus sekolah
lanjutan pertama pada tahun 1955.
Setahun kemudian, ia mengundurkan diri, dan menekuni
profesi geisha Akasaka’s Copacabana yang megah, salah satu kelab malam favorit
yang sering dikunjungi para tamu asing. Ke kelab inilah Sukarno datang pada 16
Juni 1959. Bertemu Naoko, dan jatuhlah hatinya. Setelah itu, Bung Karno masih
bertemu Naoko dua kali di hotel Imperial, tempat Bung Karno menginap. Akan
tetapi, versi lain menyebutkan, pertemuan keduanya terjadi setahun sebelumnya,
di tempat yang sama.
Usai lawatan dua pekan, Bung Karno kembali ke Jakarta.
Tapi sungguh, hatinya tertinggal di Tokyo… hatinya melekat pada gadis cantik
pemilik sorot mata lembut menusuk, sungging senyum yang lekat membekas. Seperti
biasa, Bung Karno mengekspresikan hatinya melalui surat-surat cinta. Cinta tak
bertepuk sebelah tangan. Isyarat itu ia tangkap melalui surat balasan Naoko.
Tak lama, Bung Karno segera melayangkan undangan kepada
Naoko untuk berkunjung ke Indonesia. Sukarno bahkan menemaninya dalam salah
satu perjalanan wisata ke Pulau Dewata. Benih-benih cinta makin subur bersemi
di hati keduanya. Terlebih ketika Naoko menerima pinangan Bung Karno, dan
mengganti namanya dengan nama pemberian Sukarno. Jadilah Naoko Nemoto menjadi
Ratna Sari Dewi. Orang-orang kemudian menyebutnya Dewi Soekarno.
Tanggal pernikahan keduanya, ada dua versi. Satu sumber
menyebut, keduanya menikah diam-diam pada tanggal 3 Maret 1962, bersamaan
dengan peresmian penggunaan nama baru: Ratna Sari Dewi berikut hak
kewarganegaraan Indonesia. Sumber lain menyebut mereka menikah secara resmi
bulan Mei 1964. Agaknya, sumber pertamalah yang benar.
Lepas dari kapan Bung Karno menikahi Ratna Sari Dewi,
akan tetapi, cinta Bung Karno kepadanya begitu meluap-luap. Jika ia bertestamen
agar dimakamkan di sisi makam Hartini, maka terhadap Ratna Sari Dewi, Bung
Karno bertestamen agar dimakamkan dalam satu liang.
Faktanya, Hartini dan Ratna Sari Dewi yang begitu
terlibat secara emosional pada hari terakhir kehidupan Bung Karno. Hartini yang
setia mendampingi di saat ajal menjemput. Hartini pun tahu, dalam keadaan
setengah sadar di akhir-akhir hidupnya, Bung Karno membisikkan nama Ratna Sari
Dewi. Hal itu diketahui pula oleh Rachmawati.
Rachmawati, salah satu putri Bung Karno yang paling
intens mendampingi bapaknya di akhir hayat, luluh hatinya. Tak ada lagi rasa
“tak suka” kepada Hartini maupun Ratna Sari Dewi. Rachma sadar, ayahnya begitu
mencintai Hartini dan Dewi, sama seperti besarnya cinta Bung Karno kepada
Fatmawati, ibunya.
Buah asmara Bung Karno – Ratna Sari Dewi adalah seorang
gadis cantik yang diberinya nama Kartika Sari Dewi atau akrab disapa Karina.
Bung Karno sempat menimang bayi Kartika, meski jalan hidupnya tak memungkinkan
untuk mendampinginya tumbuh menjadi gadis cantik, cerdas dengan jiwa sosial
yang begitu tinggi. (roso daras)
7.Haryati
(1963-1966)
Haryati adalah seorang penari di Pejabat Setiausaha
Negara. Mereka berkahwin pada tahun 1963 dan bercerai tiga tahun kemudian.
Sukarno seterusnya berkahwin dengan Yurike Sanger pada tahun 1964, perkahwinan
itu juga hanya bertahan tiga tahun.
8. Yurike
Sanger ( 1964-1968)
Menjadi istri Bung Karno merupakan suratan nasib dan
kehendak Tuhan. Begitulah Yurike mengawali kisahnya. Ia mengaku, hal itu sama
sekali bukan kemauannya sejak awal, juga bukan jenis impian murid SMA yang pada
waktu itu masih senang bermain karet gelang. Lagi pula, sejak awal mengenal
Bung Karno, Yurike yang bukan siapa-siapa itu merasa sangat tidak pantas
menerjemahkan isyarat yang ditampakkan Bung Karno sejak awal sebagai rasa cinta
seorang lelaki kepada seorang perempuan. Perjalanan nasib pula yang membuat
Yurike harus melupakan impiannya menjadi pramugari.
Berawal dari kedatangan seorang bintang film bernama
Dahlia ke sekolahnya pada awal 1963. Rupanya, sang bintang film itu sudah lama
mengamati dan mengincar Yurike untuk dijadikan anggota Barisan Bhinneka Tunggal
Ika, sebuah kelompok remaja berjumlah 50 pasang yang tampil mengenakan pakaian
adat Indonesia pada acara-acara kepresidenan.
ket gambar diambil dari buku :
Percintaan Bung Karno dengan Anak SMA:
Biografi Cinta Presiden Sukarno dengan Yurike Sanger
Babak baru dalam kehidupannya makin jelas terasa setelah
benar-benar masuk dalam Barisan Bhinneka Tunggal Ika itu. Setelah mendapat
bimbingan dan pengarahan secukupnya, ia pun resmi menjadi anggota. Pertama kali
terjun dalam kelompok itu pada sebuah acara kepresidenan yang digelar di Istora
(Istana Olahraga) Bung Karno. "Aku yang merupakan anggota Barisan Bhinneka
Tunggal Ika termuda tampil dengan kebaya Jawa," tulis dia mengenang
peristiwa itu.
Kejutan berikutnya berlangsung ketika pertama kali tampil
itu. Yurike mengaku sangat canggung karena ini merupakan pengalaman baru.
Keringat dingin terasa mengalir di tengkuknya pada saat Bung Karno justru
berhenti tepat di hadapannya ketika melewati Barisan Bhinneka Tunggal Ika.
Tanpa diduga, sang presiden malah menyapa dan menyempatkan diri berdialog
singkat dengannya.
"Bermimpikah aku? Bung Karno memperhatikanku lebih
dari sekilas. Barangkali karena tahu aku pendatang baru dalam Barisan Bhinneka
Tunggal Ika, (Bung Karno) lalu bertanya, 'Siapa namamu?'." Yurike menjawab
semua pertanyaan singkat presiden dengan perasaan campur aduk: bingung, malu,
dan bangga. Apalagi, Bung Karno sempat terkecoh oleh posturnya yang bongsor,
sehingga menyangka Yurike yang masih duduk di bangku SMP itu seorang mahasiswi.
Dalam perkenalan singkat itu juga, sebelum berlalu, Bung
Karno mengatakan kepadanya sebaiknya tidak memakai nama dengan akhiran
"ke" atau "ce". "Pakai Yuri saja. Nama dengan
embel-embel 'ke' atau 'ce' itu kebarat-baratan, tidak sesuai dengan kepribadian
nasional kita." Yurike pun hanya mengangguk mengiyakan.
Yurike tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya sejak
tatapan pertama dengan Bung Karno itu. "Matanya yang jernih dan terang itu
sepertinya hinggap ke pusat mataku dan sampai kapan pun tak bisa kulukiskan
dengan jelas. Bicaranya mantap, wajahnya tampan, dan makin tampak gagah dengan
jas cokelat tua yang dipenuhi atribut resmi di kedua pundak dan dada kirinya.
Secara kebetulan pula, warna cokelat tua memang warna favoritku," tulis
dia.
Seiring dengan keterlibatannya yang makin intens dalam
kegiatan Barisan Bhinneka Tunggal Ika, makin sering pula ia bertemu dengan Bung
Karno. Yurike mengungkapkan beragam perhatian khusus yang diberikan Bung Besar
itu kepada dirinya. Bermula dari sekadar menyuruh duduk di dekatnya ketika ada
acara resmi di istana, juga dengan mengambilkan kue tradisional dari meja.
Untuk itu, Yurike menulis kenangannya. "Perhatian
Presiden Soekarno kepadaku memang terasa agak khusus. Di antara puluhan gadis
yang tergabung dalam Barisan Bhinneka Tunggal Ika, menurut pengamatanku, jarang
sekali yang menerima perlakuan demikian. Aku tidak pernah berpikir bahwa hal
itu akan berlanjut menjadi hubungan yang lebih serius."
Diantar Pulang Bung Karno
Suatu ketika di Istana Bogor, setelah acara resmi usai,
Yurike bersantai seperti biasa ia lakukan: mengobrol dengan para pengawal.
Tiba-tiba Bung Karno berteriak-teriak memanggil namanya. Pada saat itu,
Presiden Soekarno sedang menikmati makan malam satu meja dengan tamu-tamunya.
Ia diminta duduk di sebuah kursi yang tampak sengaja dikosongkan persis di
sebelah RI-1 itu.
Pada saat yang lain, ia didatangi kepala pool kendaraan
istana yang menyampaikan perintah Bung Karno kepadanya. Yurike disuruh memakai
salah satu mobil istana untuk antar-jemput setiap kali mengikuti agenda Barisan
Bhinneka Tunggal Ika. Yurike tampaknya ingat betul momen itu. "Tawaran
menggunakan mobil istana tersebut disampaikan beberapa hari menjelang peristiwa
fenomenal dalam dunia olahraga: Games of the New Emerging Forces (Ganefo) I
yang upacara pembukaannya dilakukan pada 1 November 1963 di Stadion Utama
Gelora Bung Karno," tulis dia.
Malah peristiwa berikutnya pada masa itu makin di luar
dugaan Yurike. Keistimewaan yang didapatkannya terus diikuti dengan
keistimewaan lain yang lebih besar. Pada saat pembukaan Ganefo itu, petugas
protokol meminta Yurike menjadi penjemput presiden ketika turun dari mobil
kepresidenan. Ini jelas menyimpang dari kebiasaan acara protokoler yang umum
disaksikannya pada masa itu.
Di lain pihak, peristiwa itu memberi bekas sangat dalam
pada dirinya. "Dan, mata kami bertemu. Kurasa, hati kami juga bertemu.
Kutangkap kemilau yang seolah menyimpan magnet tersebut. Sementara, tanpa
sadar, aku melempar senyum lewat mataku. Biarpun hal itu cuma hadir selintasan,
peristiwa yang amat menggetarkan itu lama sekali berlabuh teduh di lembah
kenangan."
Isyarat perhatian khusus dan mendalam Bung Karno kian
kentara pada masa-masa selanjutnya. Sampai suatu ketika, di tengah acara
ramah-tamah presiden dengan pengurus Front Nasional di Istana Merdeka, ajudan
Bung Karno meminta dia tidak pulang dulu usai acara. "Soalnya, Bapak yang
mau mengantarkan pulang," katanya.
Percaya atau tidak percaya, ternyata begitulah adanya.
Yurike duduk bersebelahan dengan Bung Karno di jok belakang sedan Lincoln itu.
Perasaan kikuk menyelimuti dirinya selama perjalanan pulang. "Jok besar
itu lebar sekali. Kurasa, untuk empat orang pun masih lega. Terbelenggu oleh
sikap segan yang demikian besar, juga rasa malu yang sungguh tak teratasi,
dudukku seolah menyatu dengan pintu."
Penampilan Bung Karno pada saat mengantarkannya pulang
malam hari sekitar pukul 11 itu pun tidak biasa. Bercelana biru tua, kemeja
lengan pendek biru muda, bersandal kulit hitam, dan tanpa peci. "Kepala
yang biasa berpeci itu agak mengubah sedikit raut wajahnya. Dahinya tampak
lebar sekali dan seolah menyambung dengan bagian tengah kepalanya yang
botak."
Tanpa sungkan-sungkan pula, Yurike menuturkan bahwa
penampilan yang lain dari biasanya itu sempat membuat ayah-ibunya terkecoh.
Mereka menyangka, yang datang mengantar hanyalah kepala rumah tangga istana.
Malah ayahnya sempat bersikap sinis dan agak kurang sopan ketika menyambut sang
pengantar. Setelah tahu yang datang Bung Karno, suasana pun berubah sama
sekali.
Bung Karno Menyatakan Cinta
Pada hari-hari berikutnya, seperti bisa ditebak,
hubungannya dengan Bung Karno makin dekat. Sang presiden, dalam sebuah
perjalanan diam-diam keliling kota pada malam hari, meminta Yurike memanggilnya
"Mas", bukan "Pak". Kembali beragam perasaan berkecamuk dalam
dirinya. Apalagi, dia sendiri punya pacar: Wisnu namanya.
"Sudah terbalikkah bumi ini? Sudah sedemikian
kacaukah pendengaranku? Sudah tak berlakukah norma atau etika kepantasan yang
menempatkan sikap hormat sebagai keharusan? Mustahil presiden yang usianya di
atas ayahku minta dipanggil 'Mas' oleh seorang gadis SMA. Bagaiamanapun
beraninya aku, lidahku pasti mendadak beku sebelum sepotong kata itu keluar
dari tenggorokan."
Perjalanan diam-diam keliling kota yang diistilahkan Bung
Karno sebagai perjalanan incognito itu semakin sering dilakukan. Hingga suatu
malam, sebuah kejutan lain yang lebih besar dialami Yurike ketika diajak ke
tepi pantai. Dimulai dari pertanyaan Bung Karno soal suami idaman Yurike,
obrolan mereka makin menjurus ke soal pribadi. Akhirnya Bung Karno berujar
dengan wajah serius: "Apa Adik tidak tahu Mas mencintai Adik?"
"Sepertinya langit runtuh. Kepala semakin
berpendar-pendar bagai kejatuhan benda yang berat sekali. Mengingat
sikap-sikapnya, pernyataan demikian memang bisa muncul sewaktu-waktu. Tetapi,
tak urung, rasa kaget menerkamku," tulis Yurike mengungkapkan perasaannya
ketika itu.
Lalu ia melanjutkan, "Tak pernah aku segemetar
seperti saat itu. Raut wajah Ibu, Ayah, saudara, guru-guru di sekolah, kerabat,
famili, orang-orang yang ada di sekitar Bung Karno, terakhir kekecewaan Wisnu,
bergantian menghiasi pelupuk mata. Semula samar-samar, lalu menjadi jelas.
Sejujurnya kuakui, rasa banggaku membukit. Pada detik-detik tersebut, aku
merasa bukan anak gadis remaja, tapi sepenuhnya menjadi seorang perempuan yang
menerima pernyataan cinta seorang lelaki."
Dan saat itu pun tiba, ketika Bung Karno menyatakan
niatnya memperistri Yurike. "Kurenungi laut angan-angan sepuasnya. Pikiran
terbang bebas sebebas-bebasnya, jauh meninggalkan apa yang selama ini tampak
menakutkan. Gerak kehidupan baru menuju dunia kenyataan rasanya semakin dekat
manakala Bung Karno, berselang tidak lama, menyatakan niatnya memperistriku.
Bung Karno ingin tahu jawabanku saat itu juga. Tetapi, bagaimana mungkin? Masalah
perkawinan tidak bisa kuputuskan sendiri. Aku minta waktu dengan suara
tersendat untuk membicarakannya dengan orangtuaku."
Peristiwa Menjelang Pernikahan
Pernyataan Bung Karno soal keinginannya memperistri
Yurike berulang di istana. Kejadiannya berlangsung beberapa hari setelah
upacara pemancangan tiang pertama pembangunan Wisma Nusantara, Rabu 1 April
1964. Setelah acara yang diikutinya selesai, seorang ajudan memintanya menunggu
di teras belakang istana karena "Bapak" ingin memberi kenang-kenangan.
Ternyata Presiden Soekarno menghadiahi Yurike sebuah
kalung dari koleksinya yang berjajar di sebuah ruangan di istana. Malah lelaki
itu sendiri yang memilihkannya untuk sang pujaan hati. Ini boleh saja dibaca
sebagai lamaran tidak resmi sang presiden.
Lamaran resminya disampaikan Bung Karno kepada orangtua
Yurike, beberapa waktu kemudian. Bung Karno rupanya mengatur hal itu sejak
awal, karena beliaulah yang minta makan malam bersama dengan keluarga Yurike.
"Selesai makan, tanpa disangka-sangka Bung Karno menyampaikan niatnya
untuk memperistriku. Persisnya: Bung Karno melamar! Kubaca keterkejutan yang
terpeta di wajah orangtuaku. Kurasakan luluh segenap sendi tulangku."
Orangtua Yurike jelas sangat terkejut. Ayahnya, tidak
bisa lain, menyampaikan rasa terima kasih karena anaknya mendapat tempat
istimewa di hati Bung Karno. Dia pun minta waktu untuk memberi jawaban.
"Mohon kami diberi waktu untuk berunding, terutama dengan Yurike sendiri.
Sebagai orangtuanya, kami tidak bisa membuat keputusan sepihak karena hal
demikian akan kurang baik bagi kehidupannya nanti," demikian sang ayah
menanggapi lamaran itu.
Yurike sendiri pada saat itu pun seperti didera
kebimbangan berkepanjangan. "Aku hanyalah gadis yang baru dijemput ambang
remaja. Di sekolah, aku tidak lebih hanya seorang murid yang masih tidak ingin
terlambat datang untuk mengikuti jam pelajaran pertama, masih senang jajan es
mambo pada jam istirahat. Lalu tiba-tiba saja seorang lelaki melamarku, dan dia
justru seorang presiden yang selalu memiliki daya tarik luar biasa."
Ujungnya, lamaran Bung Karno itu diterima orangtua
Yurike. Ini membawa suasana lain. Sejak Bung Karno tahu lamarannya diterima,
napas kegembiraan sering terlontar dari kerjap matanya.
"Alhamdulillah," serunya pertama kali. "Berkuranglah bebanku
selama menunggu jawaban itu. Semoga Tuhan selalu memberkahi langkah kita dan
memberi kebahagiaan terhadap kita," ucap Bung Karno.
Seiring dengan itu, perlakuan Bung Karno terhadap Yurike
otomatis makin istimewa pula. Bung Karno, misalnya, tidak lagi membahasakan dirinya
dengan sebutan "saya", tetapi "aku". Beliau juga tidak
pernah luput meminta Yurike memanggil dirinya dengan sebutan "Mas"
setiap kali perempuan itu keceplosan menyapa "Pak" atau
"Bapak".
Dalam kaitan ini, Yurike juga tak menyembunyikan sedikit
pun rasa kagumnya kepada Bung Karno. Ia menilai Bung Besar itu benar-benar
seorang kekasih yang arif. Dia tahu persis kapan harus langsung ke titik urusan
dan kapan diperlukan diplomasi agar tidak terkesan mendikte atau memaksakan
diri.
Selain itu, "Bung Karno pandai menempatkan diriku
pada tempat yang semestinya. Bung Karno benar-benar berusaha dengan penuh
kesabaran menjadikan aku calon istrinya. Lambat laun, hal itu membawa perubahan
amat berarti bagiku. Perasaan kami jadi semakin tidak berjarak. Aku bisa cepat
menyesuaikan diri sehingga segala kekakuan yang merintangi sikapku cair dengan
sendirinya."
Tapi, di balik hubungan yang makin dekat itu, Yurike
harus menelan pil pahit. Suatu ketika, Bung Karno meminta dia berhenti
bersekolah. Dan itu sungguh mengejutkan. Tapi, "Memang ini salahku
sendiri. Aku mulai berani mengadu kepadanya seputar bisik-bisik yang berkembang
di sekolah yang berkembang menjadi aneka komentar yang disampaikan secara
terang-terangan."
Walhasil, keputusan yang diambil adalah keluar dari sekolah.
Pada waktu itu, Yurike masih duduk di kelas II SMA. Ayahnya datang ke sekolah
dan secara khusus bicara empat mata dengan kepala sekolah. Alasan keluar
tentulah karena Yurike akan menikah dengan Bung Karno. Lelaki itu juga
mewanti-wanti agar sang kepala sekolah merahasiakan hal itu.
Yurike sendiri mengungkapkan kegundahannya atas keputusan
tersebut. "Sejak itu, aku kehilangan napas duniaku yang amat kukenali
selama bertahun-tahun, bahkan sejak kelas I sekolah rakyat. Di satu sisi, aku
bisa bebas sebebas-bebasnya dalam arti sudah tidak terbebani kewajiban, tapi
kenyataannya malah terbalik: aku justru terpasung di tengah kebebasan atau
terbelenggu di tengah pesona kenikmatan yang diberikan orang lain."
Yurike didera kesepian. Apalagi setelah frekuensi
kegiatannya di Barisan Bhinneka Tunggal Ika makin dikurangi. Ia merasa, Bung
Karno secara tidak langsung mengatur hal ini. "Kukatakan secara tidak
langsung karena Bung Karno tidak pernah menanyakan mengapa aku tidak hadir di
antara keanekaragaman pakaian daerah seperti waktu-waktu sebelumnya."
Hari yang ditunggu-tunggu itu pun datang. Yurike yang
sudah jenuh dengan hubungan lewat perjalanan incognito malam-malam hari ke
pantai di kawasan Tanjung Priok itu makin mendapat kepastian. Pada Kamis 6
Agustus 1964, yang disebutnya hari termanis itu, Bung Karno resmi menikahinya
secara Islam.
Ia pun mencatat saat-saat paling istimewa sepanjang
hidupnya tersebut. "Sikapku serba-gugup. Waktu terasa merangkak lambat
sekali. Detik demi detik, menit demi menit. Kucoba sekuat mungkin mempertenang
diri, tapi sia-sia. Kucoba alihkan pikiran ke masalah lain, tapi percuma. Masih
terbayang jelas kunjungan calon penghulu kami kemarin malam ke rumah. Maksudnya
tidak lain, untuk melatihku agar upacara benar-benar dapat berlangsung khidmat
dan lancar."
Tepat pukul 10.00, Bung Karno hadir dengan pengawalan
yang jauh dari ketat. Tidak terkesan sama sekali bahwa beliau adalah presiden
yang bergelar Panglima Tertinggi ABRI sekaligus Pemimpin Besar Revolusi.
Pakaiannya sederhana sekali. Kemeja biru muda lengan pendek, celana biru tua,
sepatu hitam, dan peci hitam ciri khasnya dirasakan Yurike benar-benar
mempercerah penampilan lelaki itu. "Acara yang paling penting dalam
sejarah hidupku dimulai," tulis dia.
Duka Istri Presiden
Ternyata menjadi istri orang nomor satu di suatu negeri
tidak selamanya enak. Kesepian yang menerpa dirinya bukannya berkurang. Makin
lama, makin terasa menyesakkan. "Hari demi hari bergulir sesuai dengan
kehendak sang waktu. Kadang kurasakan hari merangkak lambat manakala kami tidak
saling bertemu. Kadangkala bagai sekejap manakala napas kerinduan harus runtuh
oleh arus perpisahan yang menerjang," tulis dia meluapkan perasaan itu.
Selama beberapa waktu, Yurike masih tinggal bersama
orangtuanya sampai Bung Karno memberinya sebuah rumah di kawasan Cipinang
Cempedak, Jakarta Timur. Rumah itu diakui Bung Karno sebagai rumah sitaan
kejaksaan milik seorang manipulator yang jadi buronan. Kesepian ternyata kian
meradang berada di rumah besar itu. Apalagi, ia tidak bisa bebas keluar-masuk
halaman yang dikelilingi pagar tertutup cukup tinggi.
Untuk mengusir rasa sepi, Yurike mengaku kerap
melampiaskannya dengan berbagai cara. Salah satunya, menghabiskan waktu
bergurau dengan para pengawal. "Dasar masih remaja, aku mengajak para
pengawal bermain perang-perangan. Aku dan salah seorang adikku berada dalam
satu kelompok, mereka dalam kelompok pihak lawan. Mereka dengan sabar mengikuti
kemauanku." Terkadang, ia juga menghabiskan waktu dengan ikut main gaple
bersama para pengawal.
Tapi hal yang paling mengagetkan dirasakannya adalah pada
saat-saat Bung Karno terbakar api cemburu. Ini dialami Yurike ketika menjalani
perawatan selama tiga pekan di Rumah Sakit Husada karena mengalami hamil di
luar kandungan. Ia harus menjalani operasi untuk mengangkat janin itu. Ketika
masuk rumah sakit hingga beberapa lama dirawat, kebetulan Bung Karno sedang
bermuhibah ke luar negeri.
Ceritanya, selama dirawat, ada seorang dokter yang
memberi perhatian khusus dan istimewa kepada Yurike. Dokter muda itu kerap
menjenguknya sembari membawa buah atau yang lain. Terakhir, dokter muda bernama
Arifin itu membawakan televisi dan majalah asing agar Yurike dapat mengusir
rasa jemunya. Majalah asing itu juga cukup kontroversial: melaporkan pertemuan
mesra Bung Karno dengan bintang seksi asal Italia, Gina Lolobrigida.
Begitu Bung Karno tahu, ia tampak sangat murka. Lucunya
lagi, ulah si dokter itu dihubung-hubungkan dengan antek neokolonialisme
(nekolim). Dengan suara lantang menggeledek, dia memerintahkan pengawalnya
membuang semua itu. Bahkan, sebagai buntut kecemburuannya, Bung Karno konon
menyuruh tim khusus memanggil dokter itu ke istana dan memeriksanya.
"Kesimpulan yang kudengar, sejauh tentang statusku
sebagai istri Bung Karno, dia sama sekali tidak mengetahuinya. Dia juga tidak
terbukti ditunggangi nekolim --sebagaimana kecurigaan Bung Karno. Alhasil,
tidak ada alasan untuk menahannya. Kendati demikian, tugasnya secara mendadak
dipindahkan ke rumah sakit lain, hari itu juga."
Saat-saat Terakhir
Langit tidak selamanya cerah. Ada saat-saat gumpalan awan
hitam bergulung-gulung, bahkan tanpa celah sinar barang sejengkal. Keadaan
bersih juga tak selamanya tergambar di langit karena tiba-tiba bisa keruh,
menakutkan, kadangkala diwarnai suara petir yang menggelegar seolah sanggup
merobek bumi. Demikian pula cerminan kehidupan Bung Karno.
Suatu hari, Bung Karno datang tanpa memberi kabar lebih
dulu. Pada saat itu, Yurike mestinya merasa senang dan menerima sang suami
dengan hati berbunga-bunga. Tapi tidak pada hari itu. Kehadiran tersebut
merupakan sebuah kabar buruk. Dia datang naik jip yang dikawal beberapa anggota
polisi militer. Wajahnya datar, jauh dari ungkapan kegembiraan.
Itulah yang terjadi beberapa waktu setelah Soeharto
dilantik menjadi penjabat presiden, persis pada 12 Maret 1967. Negara
membutuhkan istana karena penjabat presiden akan melaksanakan tugas
kenegaraannya dari tempat itu. Tidak ada jalan lain, Bung Karno harus angkat
kaki dari istana yang telah dihuninya selama bertahun-tahun.
Meredupnya kekuasaan Bung Karno ikut mempengaruhi
kehidupan yang dijalani Yurike. Tahun 1968 menjadi tahun yang dianggapnya
paling memprihatinkan. Kondisi keuangannya kian tidak menentu. Tambahan lagi,
kini tidak ada lagi aliran dana kerumahtanggaan presiden untuk menggaji para
pembantu yang jumlah totalnya ada 20-an orang.
Efek yang lebih menyesakkan, sudahlah Bung Karno hidup
dalam isolasi di Wisma Yaso, Jakarta Selatan, Yurike pun harus angkat kaki dari
rumah di Cipinang Cempedak. Berkali-kali pihak kejaksaan meminta dia
mengosongkan bekas rumah pengusaha buronan bernama King Gwan itu, berkali-kali
pula ia menolak. Ia baru angkat kaki setelah menerima pesan singkat Bung Karno
yang ditulis di atas kertas bungkus rokok. "Dik, lebih baik tinggalkan
rumah itu, toh bukan milik kita."
Yang lebih menyesakkan, Bung Karno bahkan menyarankan
agar Yurike mengajukan permintaan cerai. Ini mengguratkan suasana haru yang
menyelimutinya pada saat itu. "Aku sedih. Betul-betul sedih. Tidak
kubayangkan perkataan itu keluar dari bibir Bung Karno," katanya.
Menurut Bung Karno, situasi politik dalam negeri dan
kondisi kesehatannya yang memburuk bisa berefek kurang baik bagi kehidupan
Yurike selanjutnya secara lahir-batin. Awalnya ia menolak, dengan menegaskan
hanya ingin hidup selamanya dengan Bung Karno. "Saya tidak minta apa-apa
lagi. Mata Bung Karno berkaca-kaca. Hatiku pun menangis sejadinya," tulis
dia.
Akhirnya, Yurike memang bercerai dari Bung Karno secara
baik-baik. Peristiwa yang sungguh mengharukan karena mereka masih sama-sama
saling mencintai. Sebuah perpisahan yang justru terjadi ketika mereka tengah
dekat dan sangat rapat.
Tapi, di atas segala kepedihan itu, yang paling
menyesakkan tentulah ketika ia mendengar kabar wafatnya "sang penyambung
lidah rakyat Indonesia" itu pada 21 Juni 1970. "Kata orang, aku tidak
sekadar meratap, tetapi histeris. Aku tidak peduli. Berkali-kali kupanggil
namanya hingga suaraku tak terdengar lagi...."
9. Heldy Djafar
(1966-1969)
Heldy Jafar yang sebelumnya menjadi anggota Barisan
Bhinneka Tunggal Ika yang menyambut kedatangan Tim Piala Thomas, pada 1964.
Heldy pun dinikahi oleh Bung Karno di usia 18 tahun. Pernikahan Bung Karno
dengan Heldy ini memang tidak banyak diketahui oleh orang. Perkawina Heldy
hanya berlangsung selama dua tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar